NGEMPER DI BANDUNG? HEMAT, PELIT ATAU NGGAK PUNYA DUIT?
Kamis, Februari 07, 2019“Yuk ke Bandung yuk, kita ngebolang aja. Nggak usah nginep di penginapan.”
“Oke
nanti aku beli tiketnya.”
Sebuah
percakapan random terjadi saat jam istirahat tiba. Wacana berkepanjangan
mengenai liburan bareng akhirnya Bandunglah yang menjadi tujuannya. Bandung selalu
menjadi tempat pilihan wisata yang nggak pernah bosan aku kunjungi, karena
udaranya yang sejuk membuat aku betah untuk berlama-lama di kota Bandung.
Pertama
kali aku mengunjungi Bandung sekitar tahun 2011. Waktu itu mengunjungi Bandung
dalam rangka study tour yang diadakan oleh sekolah. Tempat yang menjadi tujuan
study tour adalah Observatorium Bosscha. Aku tidak menyadari kalau ternyata
Bosscha sangat terkenal karena pernah menjadi tempat shooting film yang memiliki banyak penikmat di zamannya, yaitu
Petualangan Sherina.
Saat
pertama kali aku menapakkan kaki di Kota Bandung, decak kagum yang bergemuruh
dalam hati tak henti-hentinya bersorak. Hingga terbersit pikiran “Aku ingin
tinggal di Bandung”.
Berharap
dilain waktu aku bisa mengunjungi Bandung (lagi).
Dan
benar saja tahun-tahun berikutnya aku berkesempatan untuk mengunjungi beberapa
tempat wisata di Kota Bandung.
Mulai
dari pemandian air panas Ciater, Gunung Tangkuban Perahu, Kawah Putih, pusat
perbelanjaan Cihampelas, Cibaduyut, Lereng Anteng, Punclut, Masjid Raya Bandung,
lalu lupa udah kemana lagi. Kayaknya sih udah segitu doang hqhqhq
Pas
tanggal 04 Agustus 2018 lalu, aku berkesempatan untuk mengunjungi Bandung lagi.
Kali ini dengan rasa yang beda, karena bermalam di Bandung tanpa menyewa
penginapan.
Tempat
yang aku kunjungi saat itu adalah Lereng Anteng, Rumah Makan Teh Ita, dan
Masjid Raya Bandung. Oh ya Gedung Sate dan Jalan Asia Afrika yang terkenal itu
juga aku kunjungi dan sempat mengabadikan gambar di sana.
Aku
pergi bersama dengan 7 orang teman, yaitu Ka Nurmi, Animah, Sundus, Ka Nisa,
Nisa dua, Tati, dan Umay.
Berangkatnya
kami naik bus Baraya travel dari Jakarta Timur sepulang kerja dan untuk pulang
keesokan harinya (5/8/18) kami tidak naik travel lagi, tapi naik kereta.
Itu pertama kalinya aku akhirnya mencoba naik kereta Argo Parahyangan Bandung-Gambir. Ternyata kereta Argo Parahyangan Bandung senyaman itu gaess.. dan bikin nagih! Rasanya pengen bolak-balik ke Bandung terus.
Itu pertama kalinya aku akhirnya mencoba naik kereta Argo Parahyangan Bandung-Gambir. Ternyata kereta Argo Parahyangan Bandung senyaman itu gaess.. dan bikin nagih! Rasanya pengen bolak-balik ke Bandung terus.
Sampai
di Bandung pas sekali saat adzan maghrib berkumandang. Kami turun di daerah
Pasteur. Tujuan awal kami saat sampai di Bandung memang ke Gedung Sate, niat
kami ingin makan malam di sana.
Niat awal di area wilayah Lapangan Gasibu (Seberang Gedung Sate) kami ingin masak-masak untuk makan malam. Salah satu teman kami, Sundus sudah persiapan bawa nesting dan kompor macam orang mau naik gunung wkwk. Ceritanya mau masak, biar tetap pada "mode hemat" muehehe
Niat awal di area wilayah Lapangan Gasibu (Seberang Gedung Sate) kami ingin masak-masak untuk makan malam. Salah satu teman kami, Sundus sudah persiapan bawa nesting dan kompor macam orang mau naik gunung wkwk. Ceritanya mau masak, biar tetap pada "mode hemat" muehehe
Tapiiii…
takdir tidak membolehkan kita untuk masak, padahal bahan makanan sudah siap
diolah. Suatu insiden yang tak diduga terjadi gaess, yaitu kompornya MATI,
sampai benar-benar nggak bisa dinyalahkan sama sekali. Padahal sebelum berangkat
sudah dites kalau kompornya baik-baik saja. Alhasil karena perut sudah pada
teriak minta diisi, kami pun akhirnya membeli bakso cuanki di sekitar Lapangan
Gasibu. Meski kami beli cuanki, kami tetap mau HEMAT, yaitu dengan cara mie
instannya dari persediaan yang sudah kami bawa, supaya harganya lebih murah dan tetap dapat porsi banyak
hahah. Bukan hanya karena itu saja sih, karena kita juga sudah membawa banyak
mie yang niatnya mau dimasak sendiri qkqkqk
Oiya,
balik lagi dari Pasteur ke Gedung Sate kami ber-delapan tidak menaiki kendaraan.
Tetap dalam pendirian “mode hemat” kami memilih JALAN KAKI dengan meminta
bantuan google maps. Karena jalannya rame-rame, perjalanan yang lumayan bikin
kaki pegel terasa biasa saja.
Setelah
selesai makan di Lapangan Gasibu kami melanjutkan perjalanan menuju Masjid Raya
Bandung. Kami memilih Masjid, karena saat itu waktu sudah semakin larut malam
sekitar pukul 21:30, kami butuh tempat singgah untuk sekadar meluruskan badan.
Karena
yang kami tau, tempat yang aman dan gratis untuk bermalam ya Cuma Masjid. Ingat
“MODE HEMAT” kami masih terpasang, jadi nggak mau ngeluarin seperak pun hanya
untuk numpang meremin mata.
Aku
mengira bermalam di Masjid akan terasa nyaman dan tentram, tapi ternyata aku
keliru!
Aku
melupakan bahwa Bandung punya suhu yang beda dengan Jakarta, sehingga semakin
malam udara terasa semakin menusuk tulang hingga gigi gemeretak.
Merasa
tersiksa aku malam itu, sepanjang malam aku benar-benar tidak bisa tidur. Udara
dingin membuat waktu terasa sangat panjang. Ingin sekali rasanya sinar matahari
segera menyapa untuk dapat menghangatkan tubuh.
Pukul
02:00 dinihari, dingin semakin menyelimuti. Jaket yang kubawa saat itu tidak
bisa menghalau dinginnya Bandung malam. Karena tidak bisa tidur juga, aku memutuskan
untuk mengajak ka Nurmi berjalan-jalan di sekitar masjid dan berfoto di Jalan
Asia Afrika yang sudah mulai sepi kendaraan (sayang sekali fotonya hilang, karena memori card ku rusak huhu).
Semakin
aku banyak bergerak dan melakukan aktivitas, rasa dingin akan semakin
berkurang. Untuk menghangatkan tubuh, aku membeli segelas susu jahe di depan
masjid. Setelah minum susu jahe, aku dan ka Nurmi kembali berjalan-jalan
mengitari masjid sampai tiba waktu Subuh.
Saat
adzan Subuh sudah berkumandang, kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.
Pukul
06:00 kami sudah memesan kendaraan online untuk mengantarkan kami ke daerah
Punclut hanya untuk sekadar sarapan dan makan siang di warung Teh Ita.
Sesampainya
di warung Teh Ita, kudapan khas Sunda siap menggoyang lidah kami.
Punclut
atau Puncak Ciumbuleuit berada di kawasan dataran tinggi, sehingga
pemandangannya terlihat begitu sangat menakjubkan. Udaranya yang sejuk juga
membuat suasana terasa lebih romantis.
Setelah
selesai makan, kami masih berdiam di sana menunggu waktu dzuhur. Saat masih
menunggu waktu dzuhur, aku dan ka Nurmi memutuskan untuk pergi ke tempat wisata
Lereng Anteng yang berada di kawasan Punclut.
Tetap
dalam “mode hemat” aku dan Ka Nurmi pantang untuk menaiki transportasi yang
berbayar untuk sampai tempat wisata. Lagi-lagi dengan menggunakan bantuan
google maps aku dan Ka Nurmi rela jalan kaki wkwk
Jalur yang ditempuh tidaklah sulit, hanya cukup dengan jalan luruusss terus ikuti jalan utama, tapiii jaraknya ini tidak dekat, lebih dari 1km atau 2 km kalo nggak salah.
Jalur yang ditempuh tidaklah sulit, hanya cukup dengan jalan luruusss terus ikuti jalan utama, tapiii jaraknya ini tidak dekat, lebih dari 1km atau 2 km kalo nggak salah.
Tak
masalah, kami KUAT!
Perjalanan
aku dan Ka Nurmi menuju Lereng Anteng tidak terasa membosankan, karena
sepanjang perjalanan setiap kali menemukan spot foto cantik langsung berhenti
dulu, cekrek.
Setelah
berjalan hampir satu jam, sampai juga di tempat tujuan, Lereng Anteng.
Kalian
mau tau aku dan Ka Nurmi di sana ngapain?
CUMA
NUMPANG FOTO. UDAH.
Setelah
puas cekrek sana, cekrek sini, kami segera kembali ke warung Teh Ita.
Waktu
itu kaki rasanya sudah sangat amat pegel, sudah menghayal pintu Doraemon aja
dah pokonya. Sampai ku ada niat untuk melambaikan tangan ke salah satu mobil
yang lalu lalang, karena dari Lereng Anteng tidak ada kendaraan umum, jadi mau
tidak mau kalau tidak bawa kendaraan sendiri ya jalan kaki. Nasib “mode hemat”.
(JANGAN KALIAN TIRU KALAU ANDA LEMAH, KHAWATIR PINGSAN).
Sudah
jalan terseok-seok, mata ngantuk akibat belum tidur sepanjang malam,
finallyyyyy setelah jalan kaki hampir satu jam, itu warung Teh Ita sampai jugaaak. Ya Allah aku terharu, ternyata aku
kuat, aku nggak pingsan. Ingin sekali aku teriaaakk, tapi nanti dikira kurang
waras.
Oiya
di warung Teh Ita itu makannya lesehan, jadi bisa buat selonjoran. Tak berfikir
lama, karena waktu dzuhur masih sekitar 1,5 jam lagi, aku memanfaatkan waktu
untuk tidur sejenak di warung Teh Ita. Nggak tau karena emang ngantuk atau
anaknya pelor, langsung pulses aku gaess. Betapa itu waktu ternikmat di Bandung
tanggal 5 Februari 2018.
Oiya
makan di warung teh Ita, makan ber-delapan, uang yang kami keluarkan tidak
sampai 200ribu. Aku lupa 100ribu berapa gitu. Nanti kalo bonnya masih ada
insyaAllah aku cek lagi.
Itu
aja sampe nggak abis nasinya. Pesan nasi merah 2 bakul, eh yang kemakan Cuma 1
bakul.
Hemat
kan?
Terserah
sih kalian mau menilainya itu hemat atau pelit atau nggak punya duit hahaha. Pokonya kalian barisan netizen
aku kasih kebebesan berpendapat. Baik kan aku? Iyain aja udah.
Waktu
dzuhur pun tiba, itu artinya kami harus bersiap-siap kembali menuju Jakarta.
Huhu
sedih harus terpisah lagi sama Bandung, berarti harus terpisah juga sama Dilan
: (
Kami
kembali menuju stasiun Bandung, dengan menumpangi angkutan online (lagi). Syukur
Alhamdulillah saat itu ada bapak-bapak driver car abis mengantar penumpang ke
kawasan Punclut, jadi kami tidak kesulitan mendapatkan angkutan untuk
mengantarkan kami ke Stasiun Bandung.
Fyi,
di Punclut tidak ada angkutan umum dan transportasi online itu jaraaanggg
banget sangat jarang. Jadi, better kalo mau ke daerah Punclut bawa kendaraan
pribadi aja biar lebih pasti.
Pukul
16:10 kereta api Argo Parahyangan siap mengantarkan kami ke tengah hiruk
pikuknya Ibu Kota yang penuh dengan kesibukan di sana-sini.
Selesai
sudah perjalanan “ngemper” di Bandung aku bersama dengan kawan-kawan.
Benar-benar
liburan hemat dengan budget yang sungguh sangat minim. Tak hanya perjalanan di
Bandungnya saja yang kami pakai “mode hemat”, tapi juga kendaraan menuju
Bandung- Jakarta pp juga sama pake mode hemat.
Baik
tiket bus travel Baraya saat pergi, maupun tiket kereta api saat pulang,
semuanya tak lupa menggunakan PROMO. Lumayan khan, tiket pp Bandung-Jakarta
tidak sampai 200ribuu.
“mode
hemat” itu terkadang perlu untuk kesejahteraan diri. Boleh liburan, tapi
sesuaikan dengan kemampuan. Oke gaes!
Silakan
kalian mau menilai “mode hemat” itu sebagai hemat beneran, pelit atau malah
nggak punya duit?
SILAKAN
NETIZEN BEBAS BERPENDAPAT!
Salam,
Anak
Bungsu!
0 komentar